ANTROPOLOGI KULINER
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Proses makan pada manusia sering kali dikaitkan dengan
aspek sosial budaya. Urusan makan pada manusia tidaklah sesederhana memasukkan makanan ke
mulut, seperti yang dilakukan hewan dan makhluk hidup lain. Aspek sosial budaya
makan adalah fungsi makanan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan
keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan masyarakat.
Membahas masalah ragam budaya selalu mengutamakan
ciri-ciri yang menandai jangkauan lintas budaya dan lompatan lintas batas dari sebuah
identitas komunal. Ini artinya tidak ada dominasi kekuasaan mayoritas ter-hadap
hak-hak minoritas dan tak ada penghalang yang mengungkung sebuah suku yang
hidup dalam keberadaan masyarakat dengan nilai-nilai
demokratis.
Kepentingan dalam menciptakan masyarakat didasari bahwa keragaman dan
pluralisme merupakan sebuah kondisi yang saling melengkapi, saling meng-hargai
dan menjunjung nilai-nilai yang terkandung pada masing-masing suku dan bangsa
sebagai prasyarat kehidupan bersama.
Pangan sebagai
bagian kultur suku bangsa
Oleh karena luasnya ruang lingkup persoalan ragam kehidupan, maka
memahami persoalan ragam budaya bisa dibuat rumit dengan berbagai kajian
ilmiah, namun bisa pula untuk dipahami secara sederhana pula. Contoh yang
paling mudah dicerna adalah bagaimana
memahami ragam budaya secara ringan adalah dengan menyimak bentuk dan jenis
makanan yang dimiliki warga masyarakat pada berbagai suku bangsa yang ada.
Mengapa makanan dan bukan yang lain ?
Alasannya
proses kehidupan manusia baik sejak dalam kandungan hingga akhir hayatnya, tak
dapat melepaskan dirinya dari makan dan minum.
Karena sangat pentingnya makanan bagi sebuah suku bangsa, maka
terdapat keyakinan tertentu bahwa sumber makanan secara simbolik disamakan dengan dewa-dewi suci. Suku bangsa India
mensucikan lembu atau sapi sebagai penjelmaaan sebuah Dewa Nandi, masyarakat Indonesia
menjuluki tanaman padi sebagai Dewi Sri, dewi yang membawa kemakmuran.
Sedangkan masyarakat pesisisir di Jawa Timur menjauhi ikan tertentu karena
diyakini sebagai hewan jelmaan dari Dewa yang telah menyelamatkan para nelayan
di laut lepas.
Bangsa
yang mempunyai penduduk dengan beragam suku dan ras tentu mempunyai aneka ragam
tata cara dan jenis makanannya. Ini tentunya terbawa oleh warisan kehidupan
para nenek moyang mereka yang secara turun-temurun menjadi nilai kebudayaannya.
Makanan dan tata cara menyajikan dan menyantap makanan bukan saja sebuah ritual
dalam kehidupan seseorang, namun punya keterkaitan dengan budaya, status sosial
dan pola pikir yang diyakini oleh pelakunya.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
diatas, maka rumusan masalah yang di ambil adalah :
1.
Bagaimana Makanan Dilihat Dari Sudut Pandang Antropologi?
2.
Bagaimana Hubungan Makanan Dengan Antropologi ?
3.
Apa yang dimaksud dengan Antropologi Kuliner ?
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
:
1. Untuk mengetahui
Makanan Dilihat Dari Sudut Pandang Antropologi
2. Untuk mengetahui Hubungan
Antara Makanan Dengan Budaya
3. Untuk mengetahui
tentang Antropologi Kuliner dan kajiannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tata Boga dilihat dari sudut pandang
Antropologi
Gastronomi atau tata boga adalah seni, atau ilmu akan makanan
yang baik (good eating). Penjelasan yang lebih singkat menyebutkan gastronomi
sebagai segala sesutu yang berhubungan dengan kenikmatan dari makan dan minuman
. Sumber lain menyebutkan gastronomi sebagai studi mengenai hubungan antara
budaya dan makanan, di mana gastronomi mempelajari berbagai komponen budaya
dengan makanan sebagai pusatnya (seni kuliner). Hubungan budaya dan gastronomi
terbentuk karena gastronomi adalah produk budidaya pada kegiatan pertanian
sehingga pengejawantahan warna, aroma, dan rasa dari suatu makanan dapat
ditelusuri asal-usulnya dari lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan. Dua
ratus tahun yang lalu, kata gastronomi pertama kali muncul di zaman modern
tepatnya di Perancis pada puisi yang dikarang oleh Jacques Berchoux (1804).
Kendati popularitas kata tersebut semakin meningkat sejak saat itu, gastronomi
masih sulit untuk didefinisikan. Kata gastronomi berasal dari Bahasa Yunani
kuno gastros yang artinya "lambung" atau "perut" dan nomos
yang artinya "hukum" atau "aturan." Gastronomi meliputi
studi dan apresiasi dari semua makanan dan minuman. Selain itu, gastronomi juga
mencakup pengetahuan mendetail mengenai makanan dan minuman nasional dari
berbagai negara besar di seluruh dunia.
Proses makan pada manusia sering kali dikaitkan dengan aspek
sosial budaya. Urusan makan pada manusia tidaklah sesedarhana memasukkan
makanan ke mulut, seperti yang dilakukan hewan dan makhluk hidup lain. Aspek
sosial budaya makan adalah fungsi makanan dalam masyarakat yang berkembang
sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan
masyarakat.
Hal ini merupakan
tugas yang luar biasa sukarnya, karena kebiasan makanan telah terbukti
merupakan yang paling menetang perubahan diantar semua kebiasaan. Apa yang kita
sukai dan yang tidak kita suka, kepercayaan-kepercayaan kita terhadap apa yang
dapat kita makan dan yang tidak dapat kita makan, dan keyakinan-keyakinan kita
dalam hal makanan yang berhubungan dengan keadaan kesehatan dan penanggalan
ritual, telah ditanamkan dalam usia muda. Hanya dengan sangat susah payah orang
dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan kebiasaan makan sejak muda, untuk
memulai dengan makanan yang sama sekali berlainan. Karena kebiasaan makan,
seperti semua kebiasaan, hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya yang
menyeluruh, kebiasaan makan harus didasarkan atas pengertian tentang makanan
sebagai suatu pranata sosial yang memenuhi banyak fungsi.
Studi mengenai makanan dalam konteks budayanya, yang
menunjuk kepada masalah-masalah yang praktis ini, jelas merupakan suatu peranan
para ahli antropologi; sebagaimana halnya dengan kepercayaan dan praktek medis,
para ahli antropologi pada hari pertama dalam penelitian lapangannya, telah
mengumpulkan keterangan tentang praktek-praktek makan dan kepercayaan tentang
makanan dari penduduk yang mereka observasi. Para ahli
antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak
memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat,
kepercayaan-kepercayaan, pntangan-pantangan, dan tahayul-tahayul yang berkaitan
dengan produksi , persiapan dan konsumsi makanan, sebagai suatu kategori budaya
yang penting, ahli-ahli antropologi melihat makanan mempengaruhi dan berkaitan
dengan banyak kategori budaya lainnya. Meskipun mereka mngakui bahwa makanan
adalah yang utama bagi kehidupan, yaitu di atas segalanya merupakan suatu gejala
fisiologi, para ahli antropologi budaya paling sedikit menaruh perhatian khusus
terhadap peranan makanan dalam kebudayaan sebagai kegiatan
ekspresif yang memperkuat kembali hubungan-hubungan sosial,
sanksi-sanksi, kepercayaan-kepercayaan dan agama, menentukan banyak pola
ekonomi dan menguasai sebagian besar dari kehidupan sehari-hari.
1.
Kebudayaan menentukan makanan
Semula
terpikir, nampaknya aneh untuk menanyakan, “Apakah itu makanan?”. Makanan
adalah yang tumbuh di ladang-ladang, yang berasal dari laut, yang di jual di
jual di pasar dan yang muncul di meja kita pada waktu makan. Pertanyaan itu,
bagaimanapun juga, adalah dasar dari pengertian tentang masalah
gizi.
Sebagai suatu gejala budaya, makanan bukanlah
semata-mata suatu produk organik dengan kualitas-kualitas biokimia, yang dapat
dipakai oleh organisma yang hidup, termasuk manusia, untuk mempertahankan
hidup. Lebih cepat, bagi para anggota masyarakat, makanan dibentuk secara
budaya; bagi sesuatu yang akan dimakan, ia memerlukan pengesahan budaya, dan
keaslian. Tidak ada suatu kelompok pun, bahkan dalam keadaan kelaparan yang
akut, akan mempergunakan semua zat gizi yang ada sebagai makanan. Karena
pantangan agama, tahayul, kepercayaan tentang kesehatan, dan suatu peristiwa
kebetulan dalam sejarah, ada bahan-bahan makanan yang bergizi baik yang tidak
boleh dimakan, mereka diklasifikasikan sebagai “bukan makanan”. Dengan kata lain,
penting untuk membedakan antara nutrimen (nutriment) dengan makanan (food).
Nutrimen adalah suatu konsep biokimia, suatu zat yang mampu memelihara dan
menjaga kesehatan orgasme yang menelannya. Makanan adalah suatu konsep budaya,
suatu pernyataan yang sesungguhnya mengatakan “zat ini sesuai bagi kebutuhan
gizi kita”. Sedemikian kuat kepercayaan-kepercayaan kita mengenai apa yang
dianggap makanan dan apa yang dianggap bukan makanan sehingga terbukti sangat
sukar untuk meyakinkan orang untuk menyesuaikan makanan tradisional mereka demi
kepentingan gizi yang baik.
Selanjutnya pilihan-pilihan pribadi lebih mengurangi
lagi variasi makanan yang disantap oleh setiap individu, karena tidak dari
seorangpun dari kita yang menikmati secara mutlak segala sesuatu yang diakui
oleh kebudayaan kita sebagai makanan. Pengalaman-pengalaman masa kecil ,
sebagaimana yang kita catat, banyak mempengaruhi kegemaran kita pada usia
dewasa; makanan yang kita kenal semasa kanak-kanak tetap menarik kita,
sedangkan yang baru kita kenal setelah dewasa lebih mudah ditolak. Meskipun
sejumlah orang gemar mencoba-coba makanan
baru, sebagian besar lagi paling senang dengan menu yang telah dikenal.
Sehingga dapat disimpulkan pengertian makanan dalam sudut pandang budaya
berbeda dengan pengertian makanan dalam ruang lingkup ilmu gizi. Karena tidak
semua bahan pangan yang bergizi dikonsumsi atau dianggap makanan oleh sebagian
masyarakat tertentu, terkait masalah kebiasaan, kepercayaan, tahayul, sejarah,
dan pengalaman. Itu pula yang menyebabkan perbedaan selera dan pemilihan
makanan di berbagai negara sesuai dengan kebiasaan dan budayanya.
- Nafsu
makan dan lapar
Bukan makanan (food) saja dibatasi secara budaya,
namun juga konsep tentang makanan (meal), kapan dimakannya, terdiri dari apa,
dan etiket makan. Diantara masyarakat yang cukup makanan, kebudayaan mereka
mendikte, kapan mereka merasa lapar , serta berapa banyak mereka harus makan
agar memuaskan rasa lapar. Pada waktu bangun pagi, sebagian besar orang Amerika
merasa memerlukan makanan lebih banyak daripada orang Eropa. Perut sebagian
besar orang Amerika mengirim isyarat lapar terus menerus setelah tengah hari
meskipun sarapannya lebih dari cukup. Sedangkan di Meksiko perut berada dalam
keadaan pasif sampai jam 3 atau 4 sore. Kemudian mereka mengirim makanan ringan
pada jam 9 atau 10 malam hari.
Dengan kata lain, nafsu makan dan lapar adalah
gejala yang berhubungan, namun juga berbeda. Nafsu makan dan apa yang
diperlukan untuk memuaskannya, adalah suatu konsep budaya yang dapat sangat
berbeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya.
- Semua
masyarakat mengklasifikasikan makanan
Dalam
setiap kelompok, makanan diklasifikasikan dengan cara-cara yang bervariasi :
apa yang layak bagi waktu-waktu makan yang resmi, dan sebagai makanan ringan
diantara waktu makan ; dan menurut pemikiran tentang status dan perstise,
menurut pertemuan sosial, usia, keadaan sakit dan sehat, dan menurut
nilai-nilai simbolik serta ritual. Orang Amerika misalnya, mempunyai
kepercayaan yang kuat mengenai apa yang wajar bagi tiap waktu makan. Meskipun
beberapa orang yang suka makan dapat menikmati bistik pada waktu sarapan,
mereka bahkan akan menganggap sop, selada dan poding coklat sebagai hal yang
tidak wajar. Walaupun telur adalah wajar untuk setiap waktu makan, cara
memasaknya tidak demikian. Telur yang digoreng hanya dapat diterima pada waktu
sarapan, namun sebagai dadar , telur itu dapat disantap pada semua waktu makan.
Sedemikian kuatnya pendapat orang Amerika tentang sarapan, sehingga kita
barangkali merupakan satu-satunya bangsa di dunia yang mempunyai ungkapan “makanan
sarapan” (breakfast foods).
Pertimbangan status memainkan peranan yang penting,
terutama dalam merubah kebiasaan makanan. Orang Meksiko di pedesaan, misalnya
lebih suka tortilas jagung bila mereka ingin mengenyangkan perut, namun roti
tawar semakin dilihat sebagai makanan status, terutama untuk dimakan pada waktu
sarapan. Cusler dan degive telah menunjukan bagaimana dikalangan rakyat kecil
kulit putih dan hitam di Amerika Serikat bagian tenggara, makanan yang berwarna
terang lebih berprestise daripada makanan yang berwarna gelap (Cussler dan
Degive 1970), suatu gejala yang dicatat dibanyak bagian dunia, dan bukan hanya
diantara orang-orang yang berrkesadaran tentang kelas. Pilihan kalangan luas
terhadap beras putih giling misalnya, yang dalam hal gizi kurang baik dari pada
beras coklat yang tidak digiling, rupa-rupanya ada kaitannya dengan iode-ide
prestise. Makanan yang dipandang bermutu, dibungkus dan sangat luas diiklankan
tampaknya mempunyai daya penarik yang tak tertahan bagi orang-orang di negara
sedang berkembang, meskipun banyak dari makanan ini lebih rendah gizinya
dibandingkan dengan makanan tradisional. Negara-negara maju juga mencerminkan
ide-ide status yang lepas dari kenyataan gizi yang sebenarnya seperti,
misalnya, kegemaran yang hampir universal kepada daging sapi dibandingkan
dengan daging babi atau domba.
Kemungkinan
klasifikasi makanan yang paling tersebar luas, dan khususnya yang penting dalam
kaitannya dengan kesehatan adalah dikotomi “panas dingin” yang diuraikan dalam
diskusi tentang patologi humoral. Kualitas lokal apapun yang diberikan kepada
setiap makanan yang bijaksana dan penghindaran jumlah yang berkelebihan antara
panas dan dingin, kesehatan dapat dipertahankan sebaik-baiknya. Demikianlah di
sebuah desa di India bagian utara, makanan panas termasuk kacang polong yang
sudah dikupas, gula kasar, susu kerbau, telur dan ikan, dan khususnya makanan
panas dari daging, bawang merah dan bawang putih. Susu dianggap tidak boleh
dimakan dengan daging maupun dengan ikan karena “panas” yang dihasilkannya.
Makan makanan yang ekstra panas secara teratur dan sebagai kebiasaan akan
menghasilkan temperamen yang panas dan lekas marah. Makanan dingin termasuk
sayur-sayuran daun wortel, cestnut air dll.
B. Hubungan Antara Makanan dengan
Antropologi Budaya
Secara
antropologis diakui bahwa ’rasa’ bukan hanya tergantung pada indera pengecapan
dan kemampuan yang diperoleh sejak lahir, tetapi merupakan sesuatu yang
diperoleh melalui proses sosialisasi (Caplan 1997; Macbeth 1997; Scholliers
2001). Kesukaan dan ketidaksukaan sehubungan dengan makanan dan minuman,
seperti banyak hal lainnya, dibentuk oleh pengalaman dalam lingkungan sosial
tertentu. Makna dan asosiasi sosial dan kultural yang terkait pada berbagai
jenis makanan sangat mempengaruhi sikap ’pribadi’ terhadap sumber makanan dan
selera. Hal-hal tersebut adalah determinan penting dalam pemilihan tentang apa
yang dapat dimakan dan tidak dapat dimakan, atau makanan lezat versus makanan
tidak enak.
Para antropolog telah menyatakan bahwa makanan,
lebih dari fenomena lain, merupakan penanda ideal untuk ’kebudayaan’ atau
’tradisi’ tertentu (Counihan dan Esterik 1997). Memasak dan makan tampaknya
merupakan tindakan yang relatif aman dan tidak provokatif guna menunjukkan
keterlibatan (embeddedness) dan identitas seseorang dalam kebudayaan tertentu.
Walaupun begitu, jika kita menguak lapisan permukaan asumsi ini, kita menyadari
bahwa pemilihan dan pengkonsumsian bahan makanan adalah, seperti halnya bentuk
lain konsumsi, tindakan sosial dan bahkan terkadang tindakan politis.
Praktik
konsumsi merupakan penanda populer dari identitas suku dan agama seseorang
(Brubaker dan Laitin 1998:440; Laitin 1995). Karena diasosiasikan dengan
identitas-identitas tertentu, obyek dan kegiatan semakin ’disukukan’
(ethnicized). Dengan begitu, kebiasaan konsumsi makanan yang sebelumnya
’netral’ (dalam konteks etnis) menjadi penanda kesukuan.
Walaupun
ketentuan-ketentuan budaya hingga taraf tertentu berlaku untuk semua bentuk
konsumsi dan manifestasi lainnya, makan/minum merupakan kategori terpisah
karena kegiatan tersebut tidak hanya mewakili identitas secara simbolis, tetapi
juga secara fisik-kita adalah apa yang kita makan. Zat-zat dalam makanan
memelihara tubuh kita dengan cara larut di dalam tubuh, membangun dan membentuk
tubuh; zat-zat tersebut menjadi bagian tubuh dan pikiran. Jadi, identifikasi
dengan zat-zat tersebut adalah fenomena budaya yang mendasarkan diri pada
kenyataan fisik.
Peran makanan dalam kebudayaan merupakan kegiatan ekspresif yang
memperkuat kembali hubungan – hubungan dengan kehidupan sosial, sanksi-sanksi,
agama, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dengan berbagai dampaknya. Dengan
kata lain, kebiasaan makan atau pola makan tidak hanya sekadar mengatasi tubuh
manusia saja, melainkan dapat memainkan peranan penting dan mendasar terhadap
ciri-ciri dan hakikat budaya makan. Berbicara tentang konsep makanan, maka
makanan dapat berasal dari laut, tanaman yang tumbuh di pertanian, yang dijual
di pasar tradisional maupun supermarket. Makanan tidaklah semata-mata sebagai
produk organik hidup dengan kualitas biokimia, tetapi makanan dapat dilihat
sebagai gejala budaya. Gejala budaya terhadap makanan dibentuk karena berbagai
pandangan hidup masyarakatnya.
Suatu kelompok masyarakat melalui pemuka ataupun mitos-mitos (yang
beredar di masyarakat) akan mengijinkan warganya memakan makanan yang boleh
disantap dan makanan yang tidak boleh disantap. “Ijin” tersebut menjadi semacam
pengesahan atau legitimasi yang muncul dalam berbagai peraturan yang sifatnya
normatif. Masyarakat akan patuh terhadap hal itu. Munculnya pandangan tentang
makanan yang boleh dan tidak boleh disantap menimbulkan kategori “bukan
makanan” bagi makanan yang tidak boleh disantap. Hal itu juga memunculkan
pandangan yang membedakan antara nutrimen (nutriment) dengan makanan (food).
Nutrimen adalah konsep biokimia yaitu zat yang mampu untuk memelihara dan
menjaga kesehatan organisme yang memakannya. Sedang makanan (food) adalah
konsep budaya, suatu pernyataan yang berada pada masyarakat tentang makanan
yang dianggap boleh dimakan dan yang dianggap tidak boleh dimakan dan itu bukan
sebagai makanan (Foster & Anderson, 1986:313-314). Sebagai animal
symbolicum (mahluk yang bersimbol), manusia memiliki berbagai symbol yang
muncul dalam bentuk bahasa, seni, pengetahuan, sejarah, dan religi. Hubungan
atau relasi antar manusia dapat dilakukan secara konseptual dan psikologis
melalui pernyataan-pernyataan bahasa. Bahasa dapat dianggap sebagai ekspresi
atau ungkapan pengalaman kehidupan manusia. Melalui ujaran dan tulisan, bahasa
itu diungkapkan secara nyata dan dipahami oleh manusia. Bagaimana hubungan
antara makan dan bahasa? Dalam kebudayaan manusia, maka makanan selalu memiliki
nama, baik nama yang berasal dari berbagai daerah (misalnya gudeg untuk
makanan khas Yogya, empek-empek untuk makanan khas Palembang, soto
sulung untuk makanan khas Surabaya dan sebagainya) maupun dari luar
negeri (burger, spaghetti, pizza, ice cream, sushi, dan
sebagainya). Melalui sebutan nama pada makanan tersebut, hubungan
makanan dan bahasa terjadi. Sebenarnya dengan penamaan itu, perasaan orang
terbangkitkan dan beberapa keinginan juga menyertainya ketika melakukan
tindakan tertentu.
Makanan yang disebut sebagai jajan pasar akan hadir ketika
masyarakat Jawa melakukan ritual “slametan” dan makanan itu sebagai
salah satu syarat sesaji. Di sisi lain, kehidupan manusia di abad
globalisasi ini sangat kompleks dan multikultural. Berbagai fenomena tersebut
hadir di tengah masyarakat, begitu juga dengan makanan. Makanan dikemas
dan diberi label dengan pernyataan bahasa yang menarik. Dengan demikian,
label-label yang dimunculkan melalui pernyataan bahasa atau teks
dapat men jadi bahan untuk dianalisis. Melalui pernyataan tersebut
muncul sebenarnya isi pikiran serta persepsi manusia yang berkaitan dengan
objek yang diinginkan serta realitas yang menyertainya. Objek tersebut berupa
makanan yang dipasarkan dalam kemasan tertentu. Sedang realitas adalah
kenyataan akan keinginan agar makanan tersebut laku dijual. Oleh karena itu
perlulah pernyataan itu dibuat dengan tujuan tertentu, yaitu menarik orang
untuk membeli makanan tersebut. Dengan demikian terjadi suatu hubungan antara
pernyataan (proposisi) dan pikiran yang memperoleh ungkapan yang dapat
ditangkap oleh indra manusia (Wittgenstein, 1999:11).
Selain hubungan diatas , makanan juga mempunyai fungsi terhadap sosial
budaya, diantaranya :
1.
Fungsi Kenikmatan
Salah satu
tujuan manusia makan adalah untuk memperoleh kenikmatan. Kesukaan akan makanan
bereda dari satu bangsa dengan bangsa lain dan dari satu daerah/suku dengan
daerah/suku lain. Misalnya, makanan di Negara tropis biasanya lebih berbumbu
dibanding dengan negara yang memiliki empat musim. Secara umum makanan yang
disukai adalah makanan yang memenuhi selera atau cita rasa, yaitu dalam hal
rupa, warna, bau, rasa, suhu, dan tekstur.
2.
Makanan untuk Menyatakan Jati Diri
Makanan sering
dianggap sebagai bagian penting untuk menyatakan jati diri seseorang atau
sekelompok orang. Misalnya di Cina, teh dianggap sebagai minuman untuk
menyambut tamu yang datang kerumah mereka. Dan mereka malu jika minuman
tersebut tidak dapat dihidangkan kepada tamu.
3.
Fungsi Religi dan Magis
Banyak simbol
religi dan magis yang dikaitkan pada makanan. Dalam agama islam, kambing sering
dikaitkan dengan acara – acara penting dalam kehidupan. Di antaranya, kambing
untuk akikah bayi baru lahir, sebagai hewan kurban, dan sebagainya. Dalam agama
katolik, anggur diibaratkan sebagai darah Kristus, sementara roti adalah
tubuhnya.
4.
Fungsi Komunikasi
Makanan
merupakan media penting bagi manusia dalam berhubungan dengan manusia lainnya.
Di dalam keluarga, kehangatan hubungan antaranggota terjadi pada waktu makan
bersama.
5.
Fungsi Status Ekonomi
Saat ini orang
yang biasanya memakan junk
food berasal dari keluarga
kaya dibanding dengan orang yang makan di warung biasa.
6.
Simbol Kekuasaan
Melaui makan
juga, seseorang atau sekelompok masyarakat dapat menunjukkan kekuasaannya
terhadap orang atau sekelompok masyarakat lain. Misalnya, majikan makan makanan
yang berbeda dengan makanan yang dimakan pembantunya.
C. Antropologi Kuliner
Setiap daerah
di Indonesia memiliki ciri khas kulinarinya, baik itu makanan berat, makanan
ringan, atau sekedar minuman. Kita lihat saja, di Sumatera, karena kentalnya
percampuran budaya Melayu, India, dan Timur Tengah, makanannya cenderung pedas,
berlemak, dan kuat dalam penggunaan rempah - rempahnya. Bandingkan dengan Orang
Sunda yang makanannya cenderung 'natural saja', lalapan, tempe-tahu, dan
sambal. Lalu Orang - orang Jawa sangat menyukai makanan manis. Beberapa teman
saya yang berasal dari Sumatera mengeluhkan hal ini ketika kami berada di Yogyakarta,
karena makanan manis bertemu nasi memang asing bagi lidah mereka yang terbiasa
dengan pedas. Tidak hanya citarasa, keadaan geografi pun mempengaruhi
makanan khas suatu daerah. Di Banjarmasin misalnya, karena dikenal sebagai Kota
Seribu Sungai, hidangan yang terbuat dari ikan air tawar mendominasi
kulinari di daerah ini.
Indonesia
memang harus sangat berbangga pada keragaman kulinarinya. Bagaimana tidak,
rendang adalah makanan terenak di dunia, tempe terkenal di kalangan vegetarian
di luar negeri, bakso, satai dan nasi goreng adalah makanan favorit Obama, dan gado - gado memenangkan kontes makanan
internasional. Bagi yang menonton acara No Reservation di TLC, sang pembawa
acara dan ahli kulinari terkenal, Anthony Bourdain mengatakan makanan Indonesia
adalah salah satu favorit dan ia adalah satu dari sedikit orang barat yang
tahan terhadap sambal Indonesia dan makan di pinggir jalan. Bourdain menikmati
betul makan nasi uduk di pinggir jalan dengan tempe orek. Meski begitu,
Bourdain mengaku tidak menyukai dodol Garut dan lebih memilih durian serta Indonesian Pancake (Surabi).
Gambar di bawah diambil ketika Bourdain berada di Garut dan menonton sabung
ayam, kemudian menikmati jajanan sekitar serta
nasi goreng nasi di warung kecil.
Kembali ke Antropologi Kuliner. Dalam blog
seorang Antropolog dari Filipina, jargon you
are what you eat harus
sangat diperhatikan dengan serius oleh para Antropolog. Karena, makanan bukan
sekedar dibuat dan dimasukan ke dalam perut, tapi ada makna di dalamnya, ada
cerita, dan ada filosofi, baik itu dilihat dari bahannya maupun pengolahannya.
Ilmu yang mempelajari makanan sendiri
sebenarnya disebut dengan Gastronomi (dari Bahasa Yunani gastron yang berarti perut dan nomos yang berarti hukum yang berlaku). Gastronomi juga mempelajari seni dalam
penyajian makanan. Dalam gastronomi, elemen dari masakan yang harus
diperhatikan selain rasa adalah tehnik penyajian, kandungan nutrisi, ilmu
kulinari, bahkan aromanya. Prinsip dari gastronomi adalah makanan yang baik.
Sementara istilah gourmet berhubungan dengan budaya dan kulinari.
Tidak hanya mengenai kisah di dalam makanan,
Antropologi Kuliner juga melihat hubungan antara makanan dan efeknya kehidupan
manusia, bahkan gender dan bentuk tubuh manusia.
Memang kuliner adalah salah satu unsur
kebudayaan yang dicintai banyak orang. Karenanya, Antropologi pun memperhatikan
bagaimana makanan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kehidupan manusia. Salah
satu contoh hubungan antara makanan dan kehidupan sehari - hari manusia adalah
makanan cepat saji cenderung lebih banyak menjamur di tempat - tempat yang
tingkat aktivitas warganya sangat tinggi, di kota - kota besar misalnya,
makanan cepat saji termasuk makanan di warung - warung dan rumah makan Padang
biasanya menjadi pilihan di kalangan mereka yang sangat sibuk dan hanya
memiliki sedikit waktu untuk makan. Di Amerika, kebiasaan makan junk
food ini
memberi dampak pada kesehatan yang sangat serius karena junk
food (yang
ini tidak termasuk makanan Padang atau warung, karena masakannya tidak diberi
pengawet) dan makanan beku menggunakan banyak sekali pengawet. Selain itu,
makanan cepat saji seperti ini mengurangi kebersamaan. Bandingkan dengan budaya
makan besar dalam satu meja bersama keluarga atau teman, tentu kebersamaan dan
keakraban bisa lebih terjalin karena di waktu makan seperti ini adalah
kesempatan dimana keluarga bisa berkumpul dan bercengkrama.
Budaya
Sosial-Keagamaan Kuliner Masyarakat
Dalam
masyarakat-masyarakat atau etnis-etnis lain di Nusantara, ada ragam makanan atau
kuliner tertentu yang dibuat pada waktu-waktu tertentu pula, semisal ragam
makanan dan kuliner yang dibuat pada hari-hari raya atau hari-hari suci
keagamaan dan pada bulan Ramadhan alias bulan puasa ummat Islam. Contohnya
adalah apem, rangginang, ketupat, kolak, gemblong, tape, jipang, dodol, dan
masih banyak lagi yang akan menjelma deret panjang bila diabsen satu persatu.
Setidak-tidaknya,
pembuatan ragam makanan dan kuliner masyarakat pada waktu-waktu tertentu,
semisal pada hari-hari raya atau hari-hari suci keagamaan dan pada bulan puasa
itu, mencerminkan dekatnya nuansa religius dan keagamaan dalam tradisi atau
budaya pembuatan ragam makanan dan kuliner dalam masyarakat itu sendiri.
Selain itu,
ada juga ragam makanan atau kuliner masyarakat yang dibuat, disajikan, dan
disantap dalam upacara-upacara selamatan atau riungan, semisal nasi kuning,
nasi ketan, bubur beras, dan lain sebagainya, yang dapat dijadikan sebagai
penanda bahwa memang ragam makanan atau kuliner tertentu masyarakat memang
dikhususkan sebagai “sajian” yang sifatnya sakral dan dalam rangka upacara
keselamatan semisal ruwatan atau selamatan anak yang baru lahir dan membuat
rumah.
Kuliner Sebagai
Identitas dan Kekayaan Budaya dan Pariwisata
Tak ragu
lagi, selain aspek sosial dan keagamaan ragam makanan atau kuliner suatu masyarakat
tertentu, juga akan menjadi daya-tarik dan kekayaan yang sifatnya “kebudayaan
dan kearifan lokal” dan juga dapat menjadi daya-tarik pariwisata Banten itu
sendiri. Kita sudah maphum, ketika orang mengunjungi sebuah tempat wisata,
mereka juga tak semata-mata ingin menikmati keindahan atau kekhasan suatu
daerah yang dikunjungi, melainkan juga ingin mengetahui dan merasakan kekhasan
makanan dan kuliner daerah atau tempat yang mereka datangi dan mereka kunjungi.
Jika
demikian, maka tak ragu lagi, keragaman kuliner atawa jajanan masyarakat Banten
seperti nasi sumsum, rabeg wedhus, nasi uduk, bubur sumsum, sate bandeng, dan
yang lainnya itu, akan menjadi penanda, penciri, atau penunjuk budaya dan
identitas apa yang akan kita sebut kekhasan Banten sebagai lanskap kultural dan
pariwisata. Bahkan, dan di sini kita boleh bangga, sate bandeng dan nasi
sumsum, sudah cukup populer bagi masyarakat-masyarakat lain di luar Banten,
bahkan wisatawan asing. Namun demikian, masih banyak ragam makanan atau
kuliner masyarakat Banten lainnya yang belum cukup dikenal oleh masyarakat atau
orang dari luar Banten, semisal nasi uduk Banten dan bubur sumsum.
Dan sebelum
tulisan ini disudahi, sekali lagi tulisan ini ingin menekankan, bahwa ragam
makanan atau kuliner suatu masyarakat, tak bisa diingkari, adalah juga
salah-satu identitas dan paten sosial-budaya yang akan menjadi penciri atau
penanda apa yang akan kita sebut sebagai Daerah itu sendiri. Bahwa suatu
daerah memiliki kearifan lokal dan keragamanan budayanya tersendiri, yang dalam
hal ini salah-satu contohnya tercermin dalam keragaman makanan atau kuliner
masyarakatnya. Inilah yang biasanya dipelajari dalam Antropologi Kuliner.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Aspek sosial budaya makan adalah fungsi makanan dalam
masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat,
kebiasaan, dan pendidikan masyarakat. Bangsa
yang mempunyai penduduk dengan beragam suku dan ras tentu mempunyai aneka ragam
tata cara dan jenis makanannya. Ini tentunya terbawa oleh warisan kehidupan
para nenek moyang mereka yang secara turun-temurun menjadi nilai kebudayaannya.
2.
Makanan dan tata cara menyajikan dan menyantap makanan bukan saja
sebuah ritual dalam kehidupan seseorang, namun punya keterkaitan dengan budaya,
status sosial dan pola pikir yang diyakini oleh pelakunya.
3.
Karena
kebiasaan makan, seperti semua kebiasaan, hanya dapat dimengerti dalam konteks
budaya yang menyeluruh, maka studi mengenai
makanan dalam konteks budayanya, yang menunjuk kepada masalah-masalah yang
praktis ini, jelas merupakan suatu peranan para ahli antropologi.
4.
Peran makanan dalam kebudayaan merupakan
kegiatan ekspresif yang memperkuat kembali hubungan – hubungan dengan kehidupan
sosial, sanksi-sanksi, agama, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dengan
berbagai dampaknya.
5. Kuliner adalah salah satu unsur kebudayaan
yang dicintai banyak orang. Makanan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kehidupan manusia dan semuanya dikaji
juga dalam Antropologi.
DAFTAR PUSTAKA
http://anthropoholic.blogspot.com/2012/07/antropologi-kuliner.htmlhttp://mahdiealone.blogspot.com/p/antropologi.html (diakses pada Tanggal 25 Maret 2014 pukul 22.20)
http://wikipedia.org/wiki/Gastronomi.html
Koentjaraningrat, 2005. Pengantar Antropologi jilid II. Rineka Cipta: Jakarta.
Meliono,V. Irmayanti, 2004. Dimensi
Etis Terhadap Budaya Makan
Dan Dampaknya Pada Masyarakat. http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/90/86 (diakses pada
tanggal 25 Maret 2014 pukul 10.37)
Ternyata begini prosesnya...
BalasHapusSalam kenal deh. Mampir ke Dus Makanan
misi kak mau nanya, tulisan ini apa udah dipublikasi? kalo boleh saya mau jadikan referensi, saya mau tau judul, nama penulis sama tahun penelitiannya boleh? terimakasih kak
BalasHapus