ANTROPOLOGI KULINER


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Proses makan pada manusia sering kali dikaitkan dengan aspek sosial budaya. Urusan makan pada manusia tidaklah sesederhana memasukkan makanan ke mulut, seperti yang dilakukan hewan dan makhluk hidup lain. Aspek sosial budaya makan adalah fungsi makanan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan masyarakat.
Membahas masalah ragam budaya selalu mengutamakan ciri-ciri yang menandai jangkauan lintas budaya dan lompatan lintas batas dari sebuah identitas komunal. Ini artinya tidak ada dominasi kekuasaan mayoritas ter-hadap hak-hak minoritas dan tak ada penghalang yang mengungkung sebuah suku yang hidup dalam keberadaan masyarakat dengan nilai-nilai demokratis.
Kepentingan dalam menciptakan masyarakat didasari bahwa keragaman dan pluralisme merupakan sebuah kondisi yang saling melengkapi, saling meng-hargai dan menjunjung nilai-nilai yang terkandung pada masing-masing suku dan bangsa sebagai prasyarat kehidupan bersama.
Pangan sebagai bagian kultur suku bangsa
Oleh karena luasnya ruang lingkup persoalan ragam kehidupan, maka memahami persoalan ragam budaya bisa dibuat rumit dengan berbagai kajian ilmiah, namun bisa pula untuk dipahami secara sederhana pula. Contoh yang paling mudah dicerna  adalah bagaimana memahami ragam budaya secara ringan adalah dengan menyimak bentuk dan jenis makanan yang dimiliki warga masyarakat pada berbagai suku bangsa yang ada.

Mengapa makanan dan bukan yang lain ?
Alasannya proses kehidupan manusia baik sejak dalam kandungan hingga akhir hayatnya, tak dapat melepaskan dirinya dari makan dan minum.
Karena sangat pentingnya makanan bagi sebuah suku bangsa, maka terdapat keyakinan tertentu bahwa sumber makanan secara simbolik disamakan  dengan dewa-dewi suci. Suku bangsa India mensucikan lembu atau sapi sebagai penjelmaaan sebuah Dewa Nandi, masyarakat Indonesia menjuluki tanaman padi sebagai Dewi Sri, dewi yang membawa kemakmuran. Sedangkan masyarakat pesisisir di Jawa Timur menjauhi ikan tertentu karena diyakini sebagai hewan jelmaan dari Dewa yang telah menyelamatkan para nelayan di laut lepas.
Bangsa yang mempunyai penduduk dengan beragam suku dan ras tentu mempunyai aneka ragam tata cara dan jenis makanannya. Ini tentunya terbawa oleh warisan kehidupan para nenek moyang mereka yang secara turun-temurun menjadi nilai kebudayaannya. Makanan dan tata cara menyajikan dan menyantap makanan bukan saja sebuah ritual dalam kehidupan seseorang, namun punya keterkaitan dengan budaya, status sosial dan pola pikir yang diyakini oleh pelakunya.

A.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang di ambil adalah :
1.     Bagaimana Makanan Dilihat Dari Sudut Pandang Antropologi?
2.     Bagaimana Hubungan Makanan Dengan Antropologi ?
3.     Apa yang dimaksud dengan Antropologi Kuliner ?

B.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.     Untuk mengetahui Makanan Dilihat Dari Sudut Pandang Antropologi
2.     Untuk mengetahui Hubungan Antara Makanan Dengan Budaya
3.     Untuk mengetahui tentang Antropologi Kuliner dan kajiannya



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tata Boga dilihat dari sudut pandang Antropologi

Gastronomi atau tata boga adalah seni, atau ilmu akan makanan yang baik (good eating). Penjelasan yang lebih singkat menyebutkan gastronomi sebagai segala sesutu yang berhubungan dengan kenikmatan dari makan dan minuman . Sumber lain menyebutkan gastronomi sebagai studi mengenai hubungan antara budaya dan makanan, di mana gastronomi mempelajari berbagai komponen budaya dengan makanan sebagai pusatnya (seni kuliner). Hubungan budaya dan gastronomi terbentuk karena gastronomi adalah produk budidaya pada kegiatan pertanian sehingga pengejawantahan warna, aroma, dan rasa dari suatu makanan dapat ditelusuri asal-usulnya dari lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan. Dua ratus tahun yang lalu, kata gastronomi pertama kali muncul di zaman modern tepatnya di Perancis pada puisi yang dikarang oleh Jacques Berchoux (1804). Kendati popularitas kata tersebut semakin meningkat sejak saat itu, gastronomi masih sulit untuk didefinisikan. Kata gastronomi berasal dari Bahasa Yunani kuno gastros yang artinya "lambung" atau "perut" dan nomos yang artinya "hukum" atau "aturan." Gastronomi meliputi studi dan apresiasi dari semua makanan dan minuman. Selain itu, gastronomi juga mencakup pengetahuan mendetail mengenai makanan dan minuman nasional dari berbagai negara besar di seluruh dunia. 
Proses makan pada manusia sering kali dikaitkan dengan aspek sosial budaya. Urusan makan pada manusia tidaklah sesedarhana memasukkan makanan ke mulut, seperti yang dilakukan hewan dan makhluk hidup lain. Aspek sosial budaya makan adalah fungsi makanan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan masyarakat.
Hal ini merupakan tugas yang luar biasa sukarnya, karena kebiasan makanan telah terbukti merupakan yang paling menetang perubahan diantar semua kebiasaan. Apa yang kita sukai dan yang tidak kita suka, kepercayaan-kepercayaan kita terhadap apa yang dapat kita makan dan yang tidak dapat kita makan, dan keyakinan-keyakinan kita dalam hal makanan yang berhubungan dengan keadaan kesehatan dan penanggalan ritual, telah ditanamkan dalam usia muda. Hanya dengan sangat susah payah orang dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan kebiasaan makan sejak muda, untuk memulai dengan makanan yang sama sekali berlainan. Karena kebiasaan makan, seperti semua kebiasaan, hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya yang menyeluruh, kebiasaan makan harus didasarkan atas pengertian tentang makanan sebagai suatu pranata sosial yang memenuhi banyak fungsi.
Studi mengenai makanan dalam konteks budayanya, yang menunjuk kepada masalah-masalah yang praktis ini, jelas merupakan suatu peranan para ahli antropologi; sebagaimana halnya dengan kepercayaan dan praktek medis, para ahli antropologi pada hari pertama dalam penelitian lapangannya, telah mengumpulkan keterangan tentang praktek-praktek makan dan kepercayaan tentang makanan dari penduduk yang mereka observasi. Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pntangan-pantangan, dan tahayul-tahayul yang berkaitan dengan produksi , persiapan dan konsumsi makanan, sebagai suatu kategori budaya yang penting, ahli-ahli antropologi melihat makanan mempengaruhi dan berkaitan dengan banyak kategori budaya lainnya. Meskipun mereka mngakui bahwa makanan adalah yang utama bagi kehidupan, yaitu di atas segalanya merupakan suatu gejala fisiologi, para ahli antropologi budaya paling sedikit menaruh perhatian khusus terhadap peranan makanan dalam kebudayaan sebagai kegiatan ekspresif  yang memperkuat kembali hubungan-hubungan sosial, sanksi-sanksi, kepercayaan-kepercayaan dan agama, menentukan banyak pola ekonomi dan menguasai sebagian besar dari kehidupan sehari-hari.
1.     Kebudayaan menentukan makanan
Semula terpikir, nampaknya aneh untuk menanyakan, “Apakah itu makanan?”. Makanan adalah yang tumbuh di ladang-ladang, yang berasal dari laut, yang di jual di jual di pasar dan yang muncul di meja kita pada waktu makan. Pertanyaan itu, bagaimanapun juga, adalah dasar dari pengertian tentang masalah gizi.  
Sebagai suatu gejala budaya, makanan bukanlah semata-mata suatu produk organik dengan kualitas-kualitas biokimia, yang dapat dipakai oleh organisma yang hidup, termasuk manusia, untuk mempertahankan hidup. Lebih cepat, bagi para anggota masyarakat, makanan dibentuk secara budaya; bagi sesuatu yang akan dimakan, ia memerlukan pengesahan budaya, dan keaslian. Tidak ada suatu kelompok pun, bahkan dalam keadaan kelaparan yang akut, akan mempergunakan semua zat gizi yang ada sebagai makanan. Karena pantangan agama, tahayul, kepercayaan tentang kesehatan, dan suatu peristiwa kebetulan dalam sejarah, ada bahan-bahan makanan yang bergizi baik yang tidak boleh dimakan, mereka diklasifikasikan sebagai “bukan makanan”. Dengan kata lain, penting untuk membedakan antara nutrimen (nutriment) dengan makanan (food). Nutrimen adalah suatu konsep biokimia, suatu zat yang mampu memelihara dan menjaga kesehatan orgasme yang menelannya. Makanan adalah suatu konsep budaya, suatu pernyataan yang sesungguhnya mengatakan “zat ini sesuai bagi kebutuhan gizi kita”. Sedemikian kuat kepercayaan-kepercayaan kita mengenai apa yang dianggap makanan dan apa yang dianggap bukan makanan sehingga terbukti sangat sukar untuk meyakinkan orang untuk menyesuaikan makanan tradisional mereka demi kepentingan gizi yang baik.
Selanjutnya pilihan-pilihan pribadi lebih mengurangi lagi variasi makanan yang disantap oleh setiap individu, karena tidak dari seorangpun dari kita yang menikmati secara mutlak segala sesuatu yang diakui oleh kebudayaan kita sebagai makanan. Pengalaman-pengalaman masa kecil , sebagaimana yang kita catat, banyak mempengaruhi kegemaran kita pada usia dewasa; makanan yang kita kenal semasa kanak-kanak tetap menarik kita, sedangkan yang baru kita kenal setelah dewasa lebih mudah ditolak. Meskipun sejumlah orang gemar mencoba-coba makanan baru, sebagian besar lagi paling senang dengan menu yang telah dikenal.
Sehingga dapat disimpulkan pengertian makanan dalam sudut pandang budaya berbeda dengan pengertian makanan dalam ruang lingkup ilmu gizi. Karena tidak semua bahan pangan yang bergizi dikonsumsi atau dianggap makanan oleh sebagian masyarakat tertentu, terkait masalah kebiasaan, kepercayaan, tahayul, sejarah, dan pengalaman. Itu pula yang menyebabkan perbedaan selera dan pemilihan makanan di berbagai negara sesuai dengan kebiasaan dan budayanya.
  1. Nafsu makan dan lapar
Bukan makanan (food) saja dibatasi secara budaya, namun juga konsep tentang makanan (meal), kapan dimakannya, terdiri dari apa, dan etiket makan. Diantara masyarakat yang cukup makanan, kebudayaan mereka mendikte, kapan mereka merasa lapar , serta berapa banyak mereka harus makan agar memuaskan rasa lapar. Pada waktu bangun pagi, sebagian besar orang Amerika merasa memerlukan makanan lebih banyak daripada orang Eropa. Perut sebagian besar orang Amerika mengirim isyarat lapar terus menerus setelah tengah hari meskipun sarapannya lebih dari cukup. Sedangkan di Meksiko perut berada dalam keadaan pasif sampai jam 3 atau 4 sore. Kemudian mereka mengirim makanan ringan pada jam 9 atau 10 malam hari.
Dengan kata lain, nafsu makan dan lapar adalah gejala yang berhubungan, namun juga berbeda. Nafsu makan dan apa yang diperlukan untuk memuaskannya, adalah suatu konsep budaya yang dapat sangat berbeda antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya.
  1. Semua masyarakat mengklasifikasikan makanan
Dalam setiap kelompok, makanan diklasifikasikan dengan cara-cara yang bervariasi : apa yang layak bagi waktu-waktu makan yang resmi, dan sebagai makanan ringan diantara waktu makan ; dan menurut pemikiran tentang status dan perstise, menurut pertemuan sosial, usia, keadaan sakit dan sehat, dan menurut nilai-nilai simbolik serta ritual. Orang Amerika misalnya, mempunyai kepercayaan yang kuat mengenai apa yang wajar bagi tiap waktu makan. Meskipun beberapa orang yang suka makan dapat menikmati bistik pada waktu sarapan, mereka bahkan akan menganggap sop, selada dan poding coklat sebagai hal yang tidak wajar. Walaupun telur adalah wajar untuk setiap waktu makan, cara memasaknya tidak demikian. Telur yang digoreng hanya dapat diterima pada waktu sarapan, namun sebagai dadar , telur itu dapat disantap pada semua waktu makan. Sedemikian kuatnya pendapat orang Amerika tentang sarapan, sehingga kita barangkali merupakan satu-satunya bangsa di dunia yang mempunyai ungkapan “makanan sarapan” (breakfast foods).
Pertimbangan status memainkan peranan yang penting, terutama dalam merubah kebiasaan makanan. Orang Meksiko di pedesaan, misalnya lebih suka tortilas jagung bila mereka ingin mengenyangkan perut, namun roti tawar semakin dilihat sebagai makanan status, terutama untuk dimakan pada waktu sarapan. Cusler dan degive telah menunjukan bagaimana dikalangan rakyat kecil kulit putih dan hitam di Amerika Serikat bagian tenggara, makanan yang berwarna terang lebih berprestise daripada makanan yang berwarna gelap (Cussler dan Degive 1970), suatu gejala yang dicatat dibanyak bagian dunia, dan bukan hanya diantara orang-orang yang berrkesadaran tentang kelas. Pilihan kalangan luas terhadap beras putih giling misalnya, yang dalam hal gizi kurang baik dari pada beras coklat yang tidak digiling, rupa-rupanya ada kaitannya dengan iode-ide prestise. Makanan yang dipandang bermutu, dibungkus dan sangat luas diiklankan tampaknya mempunyai daya penarik yang tak tertahan bagi orang-orang di negara sedang berkembang, meskipun banyak dari makanan ini lebih rendah gizinya dibandingkan dengan makanan tradisional. Negara-negara maju juga mencerminkan ide-ide status yang lepas dari kenyataan gizi yang sebenarnya seperti, misalnya, kegemaran yang hampir universal kepada daging sapi dibandingkan dengan daging babi atau domba.
Kemungkinan klasifikasi makanan yang paling tersebar luas, dan khususnya yang penting dalam kaitannya dengan kesehatan adalah dikotomi “panas dingin” yang diuraikan dalam diskusi tentang patologi humoral. Kualitas lokal apapun yang diberikan kepada setiap makanan yang bijaksana dan penghindaran jumlah yang berkelebihan antara panas dan dingin, kesehatan dapat dipertahankan sebaik-baiknya. Demikianlah di sebuah desa di India bagian utara, makanan panas termasuk kacang polong yang sudah dikupas, gula kasar, susu kerbau, telur dan ikan, dan khususnya makanan panas dari daging, bawang merah dan bawang putih. Susu dianggap tidak boleh dimakan dengan daging maupun dengan ikan karena “panas” yang dihasilkannya. Makan makanan yang ekstra panas secara teratur dan sebagai kebiasaan akan menghasilkan temperamen yang panas dan lekas marah. Makanan dingin termasuk sayur-sayuran daun wortel, cestnut air dll.

B.    Hubungan Antara Makanan dengan Antropologi Budaya

Secara antropologis diakui bahwa ’rasa’ bukan hanya tergantung pada indera pengecapan dan kemampuan yang diperoleh sejak lahir, tetapi merupakan sesuatu yang diperoleh melalui proses sosialisasi (Caplan 1997; Macbeth 1997; Scholliers 2001). Kesukaan dan ketidaksukaan sehubungan dengan makanan dan minuman, seperti banyak hal lainnya, dibentuk oleh pengalaman dalam lingkungan sosial tertentu. Makna dan asosiasi sosial dan kultural yang terkait pada berbagai jenis makanan sangat mempengaruhi sikap ’pribadi’ terhadap sumber makanan dan selera. Hal-hal tersebut adalah determinan penting dalam pemilihan tentang apa yang dapat dimakan dan tidak dapat dimakan, atau makanan lezat versus makanan tidak enak.
Para antropolog telah menyatakan bahwa makanan, lebih dari fenomena lain, merupakan penanda ideal untuk ’kebudayaan’ atau ’tradisi’ tertentu (Counihan dan Esterik 1997). Memasak dan makan tampaknya merupakan tindakan yang relatif aman dan tidak provokatif guna menunjukkan keterlibatan (embeddedness) dan identitas seseorang dalam kebudayaan tertentu. Walaupun begitu, jika kita menguak lapisan permukaan asumsi ini, kita menyadari bahwa pemilihan dan pengkonsumsian bahan makanan adalah, seperti halnya bentuk lain konsumsi, tindakan sosial dan bahkan terkadang tindakan politis.

Praktik konsumsi merupakan penanda populer dari identitas suku dan agama seseorang (Brubaker dan Laitin 1998:440; Laitin 1995). Karena diasosiasikan dengan identitas-identitas tertentu, obyek dan kegiatan semakin ’disukukan’ (ethnicized). Dengan begitu, kebiasaan konsumsi makanan yang sebelumnya ’netral’ (dalam konteks etnis) menjadi penanda kesukuan. 

Walaupun ketentuan-ketentuan budaya hingga taraf tertentu berlaku untuk semua bentuk konsumsi dan manifestasi lainnya, makan/minum merupakan kategori terpisah karena kegiatan tersebut tidak hanya mewakili identitas secara simbolis, tetapi juga secara fisik-kita adalah apa yang kita makan. Zat-zat dalam makanan memelihara tubuh kita dengan cara larut di dalam tubuh, membangun dan membentuk tubuh; zat-zat tersebut menjadi bagian tubuh dan pikiran. Jadi, identifikasi dengan zat-zat tersebut adalah fenomena budaya yang mendasarkan diri pada kenyataan fisik.

Peran makanan dalam kebudayaan merupakan kegiatan ekspresif yang memperkuat kembali hubungan – hubungan dengan kehidupan sosial, sanksi-sanksi, agama, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dengan berbagai dampaknya. Dengan kata lain, kebiasaan makan atau pola makan tidak hanya sekadar mengatasi tubuh manusia saja, melainkan dapat memainkan peranan penting dan mendasar terhadap ciri-ciri dan hakikat budaya makan. Berbicara tentang konsep makanan, maka makanan dapat berasal dari laut, tanaman yang tumbuh di pertanian, yang dijual di pasar tradisional maupun supermarket. Makanan tidaklah semata-mata sebagai produk organik hidup dengan kualitas biokimia, tetapi makanan dapat dilihat sebagai gejala budaya. Gejala budaya terhadap makanan dibentuk karena berbagai pandangan hidup masyarakatnya.
Suatu kelompok masyarakat melalui pemuka ataupun mitos-mitos (yang beredar di masyarakat) akan mengijinkan warganya memakan makanan yang boleh disantap dan makanan yang tidak boleh disantap. “Ijin” tersebut menjadi semacam pengesahan atau legitimasi yang muncul dalam berbagai peraturan yang sifatnya normatif. Masyarakat akan patuh terhadap hal itu. Munculnya pandangan tentang makanan yang boleh dan tidak boleh disantap menimbulkan kategori “bukan makanan” bagi makanan yang tidak boleh disantap. Hal itu juga memunculkan pandangan yang membedakan antara nutrimen (nutriment) dengan makanan (food). Nutrimen adalah konsep biokimia yaitu zat yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang memakannya. Sedang makanan (food) adalah konsep budaya, suatu pernyataan yang berada pada masyarakat tentang makanan yang dianggap boleh dimakan dan yang dianggap tidak boleh dimakan dan itu bukan sebagai makanan (Foster & Anderson, 1986:313-314). Sebagai animal symbolicum (mahluk yang bersimbol), manusia memiliki berbagai symbol yang muncul dalam bentuk bahasa, seni, pengetahuan, sejarah, dan religi. Hubungan atau relasi antar manusia dapat dilakukan secara konseptual dan psikologis melalui pernyataan-pernyataan bahasa. Bahasa dapat dianggap sebagai ekspresi atau ungkapan pengalaman kehidupan manusia. Melalui ujaran dan tulisan, bahasa itu diungkapkan secara nyata dan dipahami oleh manusia. Bagaimana hubungan antara makan dan bahasa? Dalam kebudayaan manusia, maka makanan selalu memiliki nama, baik nama yang berasal dari berbagai daerah (misalnya gudeg untuk makanan khas Yogya, empek-empek untuk makanan khas Palembang, soto sulung untuk makanan khas Surabaya dan sebagainya) maupun dari luar negeri (burger, spaghetti, pizza, ice cream, sushi, dan sebagainya). Melalui sebutan nama pada makanan tersebut, hubungan makanan dan bahasa terjadi. Sebenarnya dengan penamaan itu, perasaan orang terbangkitkan dan beberapa keinginan juga menyertainya ketika melakukan tindakan tertentu.
Makanan yang disebut sebagai jajan pasar akan hadir ketika masyarakat Jawa melakukan ritual “slametan” dan makanan itu sebagai salah satu syarat sesaji. Di sisi lain, kehidupan manusia di abad globalisasi ini sangat kompleks dan multikultural. Berbagai fenomena tersebut hadir di tengah masyarakat, begitu juga dengan makanan. Makanan dikemas dan diberi label dengan pernyataan bahasa yang menarik. Dengan demikian, label-label yang dimunculkan melalui pernyataan bahasa atau teks dapat men jadi bahan untuk dianalisis. Melalui pernyataan tersebut muncul sebenarnya isi pikiran serta persepsi manusia yang berkaitan dengan objek yang diinginkan serta realitas yang menyertainya. Objek tersebut berupa makanan yang dipasarkan dalam kemasan tertentu. Sedang realitas adalah kenyataan akan keinginan agar makanan tersebut laku dijual. Oleh karena itu perlulah pernyataan itu dibuat dengan tujuan tertentu, yaitu menarik orang untuk membeli makanan tersebut. Dengan demikian terjadi suatu hubungan antara pernyataan (proposisi) dan pikiran yang memperoleh ungkapan yang dapat ditangkap oleh indra manusia (Wittgenstein, 1999:11).
Selain hubungan diatas , makanan juga mempunyai fungsi terhadap sosial budaya, diantaranya :
1.     Fungsi Kenikmatan
Salah satu tujuan manusia makan adalah untuk memperoleh kenikmatan. Kesukaan akan makanan bereda dari satu bangsa dengan bangsa lain dan dari satu daerah/suku dengan daerah/suku lain. Misalnya, makanan di Negara tropis biasanya lebih berbumbu dibanding dengan negara yang memiliki empat musim. Secara umum makanan yang disukai adalah makanan yang memenuhi selera atau cita rasa, yaitu dalam hal rupa, warna, bau, rasa, suhu, dan tekstur.
2.     Makanan untuk Menyatakan Jati Diri
Makanan sering dianggap sebagai bagian penting untuk menyatakan jati diri seseorang atau sekelompok orang. Misalnya di Cina, teh dianggap sebagai minuman untuk menyambut tamu yang datang kerumah mereka. Dan mereka malu jika minuman tersebut tidak dapat dihidangkan kepada tamu.
3.     Fungsi Religi dan Magis
Banyak simbol religi dan magis yang dikaitkan pada makanan. Dalam agama islam, kambing sering dikaitkan dengan acara – acara penting dalam kehidupan. Di antaranya, kambing untuk akikah bayi baru lahir, sebagai hewan kurban, dan sebagainya. Dalam agama katolik, anggur diibaratkan sebagai darah Kristus, sementara roti adalah tubuhnya.
4.     Fungsi Komunikasi
Makanan merupakan media penting bagi manusia dalam berhubungan dengan manusia lainnya. Di dalam keluarga, kehangatan hubungan antaranggota terjadi pada waktu makan bersama.
5.     Fungsi Status Ekonomi
Saat ini orang yang biasanya memakan junk food berasal dari keluarga kaya dibanding dengan orang yang makan di warung biasa.
6.     Simbol Kekuasaan
Melaui makan juga, seseorang atau sekelompok masyarakat dapat menunjukkan kekuasaannya terhadap orang atau sekelompok masyarakat lain. Misalnya, majikan makan makanan yang berbeda dengan makanan yang dimakan pembantunya.

C.    Antropologi Kuliner

Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas kulinarinya, baik itu makanan berat, makanan ringan, atau sekedar minuman. Kita lihat saja, di Sumatera, karena kentalnya percampuran budaya Melayu, India, dan Timur Tengah, makanannya cenderung pedas, berlemak, dan kuat dalam penggunaan rempah - rempahnya. Bandingkan dengan Orang Sunda yang makanannya cenderung 'natural saja', lalapan, tempe-tahu, dan sambal. Lalu Orang - orang Jawa sangat menyukai makanan manis. Beberapa teman saya yang berasal dari Sumatera mengeluhkan hal ini ketika kami berada di Yogyakarta, karena makanan manis bertemu nasi memang asing bagi lidah mereka yang terbiasa dengan pedas. Tidak hanya citarasa, keadaan geografi pun mempengaruhi makanan khas suatu daerah. Di Banjarmasin misalnya, karena dikenal sebagai Kota Seribu Sungai, hidangan yang terbuat dari ikan air tawar mendominasi  kulinari di daerah ini.
Indonesia memang harus sangat berbangga pada keragaman kulinarinya. Bagaimana tidak, rendang adalah makanan terenak di dunia, tempe terkenal di kalangan vegetarian di luar negeri, bakso, satai dan nasi goreng adalah makanan favorit Obama, dan gado - gado memenangkan kontes makanan internasional. Bagi yang menonton acara No Reservation di TLC, sang pembawa acara dan ahli kulinari terkenal, Anthony Bourdain mengatakan makanan Indonesia adalah salah satu favorit dan ia adalah satu dari sedikit orang barat yang tahan terhadap sambal Indonesia dan makan di pinggir jalan. Bourdain menikmati betul makan nasi uduk di pinggir jalan dengan tempe orek. Meski begitu, Bourdain mengaku tidak menyukai dodol Garut dan lebih memilih durian serta Indonesian Pancake (Surabi). Gambar di bawah diambil ketika Bourdain berada di Garut dan menonton sabung ayam, kemudian menikmati jajanan sekitar serta nasi goreng nasi di warung kecil.
Kembali ke Antropologi Kuliner. Dalam blog seorang Antropolog dari Filipina, jargon you are what you eat harus sangat diperhatikan dengan serius oleh para Antropolog. Karena, makanan bukan sekedar dibuat dan dimasukan ke dalam perut, tapi ada makna di dalamnya, ada cerita, dan ada filosofi, baik itu dilihat dari bahannya maupun pengolahannya.
Ilmu yang mempelajari makanan sendiri sebenarnya disebut dengan Gastronomi (dari Bahasa Yunani gastron yang berarti perut dan nomos yang berarti hukum yang berlaku). Gastronomi juga mempelajari seni dalam penyajian makanan. Dalam gastronomi, elemen dari masakan yang harus diperhatikan selain rasa adalah tehnik penyajian, kandungan nutrisi, ilmu kulinari, bahkan aromanya. Prinsip dari gastronomi adalah makanan yang baik. Sementara istilah gourmet berhubungan dengan budaya dan kulinari.
Tidak hanya mengenai kisah di dalam makanan, Antropologi Kuliner juga melihat hubungan antara makanan dan efeknya kehidupan manusia, bahkan gender dan bentuk tubuh manusia.
Memang kuliner adalah salah satu unsur kebudayaan yang dicintai banyak orang. Karenanya, Antropologi pun memperhatikan bagaimana makanan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kehidupan manusia. Salah satu contoh hubungan antara makanan dan kehidupan sehari - hari manusia adalah makanan cepat saji cenderung lebih banyak menjamur di tempat - tempat yang tingkat aktivitas warganya sangat tinggi, di kota - kota besar misalnya, makanan cepat saji termasuk makanan di warung - warung dan rumah makan Padang biasanya menjadi pilihan di kalangan mereka yang sangat sibuk dan hanya memiliki sedikit waktu untuk makan. Di Amerika, kebiasaan makan junk food ini memberi dampak pada kesehatan yang sangat serius karena junk food (yang ini tidak termasuk makanan Padang atau warung, karena masakannya tidak diberi pengawet) dan makanan beku menggunakan banyak sekali pengawet. Selain itu, makanan cepat saji seperti ini mengurangi kebersamaan. Bandingkan dengan budaya makan besar dalam satu meja bersama keluarga atau teman, tentu kebersamaan dan keakraban bisa lebih terjalin karena di waktu makan seperti ini adalah kesempatan dimana keluarga bisa berkumpul dan bercengkrama.
Budaya Sosial-Keagamaan Kuliner Masyarakat
Dalam masyarakat-masyarakat atau etnis-etnis lain di Nusantara, ada ragam makanan atau kuliner tertentu yang dibuat pada waktu-waktu tertentu pula, semisal ragam makanan dan kuliner yang dibuat pada hari-hari raya atau hari-hari suci keagamaan dan pada bulan Ramadhan alias bulan puasa ummat Islam. Contohnya adalah apem, rangginang, ketupat, kolak, gemblong, tape, jipang, dodol, dan masih banyak lagi yang akan menjelma deret panjang bila diabsen satu persatu.
Setidak-tidaknya, pembuatan ragam makanan dan kuliner masyarakat pada waktu-waktu tertentu, semisal pada hari-hari raya atau hari-hari suci keagamaan dan pada bulan puasa itu, mencerminkan dekatnya nuansa religius dan keagamaan dalam tradisi atau budaya pembuatan ragam makanan dan kuliner dalam masyarakat itu sendiri.
Selain itu, ada juga ragam makanan atau kuliner masyarakat yang dibuat, disajikan, dan disantap dalam upacara-upacara selamatan atau riungan, semisal nasi kuning, nasi ketan, bubur beras, dan lain sebagainya, yang dapat dijadikan sebagai penanda bahwa memang ragam makanan atau kuliner tertentu masyarakat memang dikhususkan sebagai “sajian” yang sifatnya sakral dan dalam rangka upacara keselamatan semisal ruwatan atau selamatan anak yang baru lahir dan membuat rumah.
Kuliner Sebagai Identitas dan Kekayaan Budaya dan Pariwisata
Tak ragu lagi, selain aspek sosial dan keagamaan ragam makanan atau kuliner suatu masyarakat tertentu, juga akan menjadi daya-tarik dan kekayaan yang sifatnya “kebudayaan dan kearifan lokal” dan juga dapat menjadi daya-tarik pariwisata Banten itu sendiri. Kita sudah maphum, ketika orang mengunjungi sebuah tempat wisata, mereka juga tak semata-mata ingin menikmati keindahan atau kekhasan suatu daerah yang dikunjungi, melainkan juga ingin mengetahui dan merasakan kekhasan makanan dan kuliner daerah atau tempat yang mereka datangi dan mereka kunjungi.
Jika demikian, maka tak ragu lagi, keragaman kuliner atawa jajanan masyarakat Banten seperti nasi sumsum, rabeg wedhus, nasi uduk, bubur sumsum, sate bandeng, dan yang lainnya itu, akan menjadi penanda, penciri, atau penunjuk budaya dan identitas apa yang akan kita sebut kekhasan Banten sebagai lanskap kultural dan pariwisata.  Bahkan, dan di sini kita boleh bangga, sate bandeng dan nasi sumsum, sudah cukup populer bagi masyarakat-masyarakat lain di luar Banten, bahkan wisatawan asing.  Namun demikian, masih banyak ragam makanan atau kuliner masyarakat Banten lainnya yang belum cukup dikenal oleh masyarakat atau orang dari luar Banten, semisal nasi uduk Banten dan bubur sumsum.
Dan sebelum tulisan ini disudahi, sekali lagi tulisan ini ingin menekankan, bahwa ragam makanan atau kuliner suatu masyarakat, tak bisa diingkari, adalah juga salah-satu identitas dan paten sosial-budaya yang akan menjadi penciri atau penanda apa yang akan kita sebut sebagai Daerah itu sendiri.  Bahwa suatu daerah memiliki kearifan lokal dan keragamanan budayanya tersendiri, yang dalam hal ini salah-satu contohnya tercermin dalam keragaman makanan atau kuliner masyarakatnya. Inilah yang biasanya dipelajari dalam Antropologi Kuliner.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.     Aspek sosial budaya makan adalah fungsi makanan dalam masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan masyarakat. Bangsa yang mempunyai penduduk dengan beragam suku dan ras tentu mempunyai aneka ragam tata cara dan jenis makanannya. Ini tentunya terbawa oleh warisan kehidupan para nenek moyang mereka yang secara turun-temurun menjadi nilai kebudayaannya.
2.     Makanan dan tata cara menyajikan dan menyantap makanan bukan saja sebuah ritual dalam kehidupan seseorang, namun punya keterkaitan dengan budaya, status sosial dan pola pikir yang diyakini oleh pelakunya.
3.     Karena kebiasaan makan, seperti semua kebiasaan, hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya yang menyeluruh, maka studi mengenai makanan dalam konteks budayanya, yang menunjuk kepada masalah-masalah yang praktis ini, jelas merupakan suatu peranan para ahli antropologi.
4.     Peran makanan dalam kebudayaan merupakan kegiatan ekspresif yang memperkuat kembali hubungan – hubungan dengan kehidupan sosial, sanksi-sanksi, agama, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dengan berbagai dampaknya.
5.     Kuliner adalah salah satu unsur kebudayaan yang dicintai banyak orang. Makanan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kehidupan manusia dan semuanya dikaji juga dalam Antropologi.



DAFTAR PUSTAKA

http://anthropoholic.blogspot.com/2012/07/antropologi-kuliner.htmlhttp://mahdiealone.blogspot.com/p/antropologi.html (diakses pada Tanggal 25 Maret 2014 pukul 22.20)
http://wikipedia.org/wiki/Gastronomi.html
Koentjaraningrat, 2005. Pengantar Antropologi jilid II. Rineka Cipta: Jakarta.
Meliono,V. Irmayanti, 2004. Dimensi Etis Terhadap Budaya Makan
Dan Dampaknya Pada  Masyarakat. http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/90/86 (diakses pada tanggal 25 Maret 2014 pukul 10.37)




Komentar

  1. Ternyata begini prosesnya...
    Salam kenal deh. Mampir ke Dus Makanan

    BalasHapus
  2. misi kak mau nanya, tulisan ini apa udah dipublikasi? kalo boleh saya mau jadikan referensi, saya mau tau judul, nama penulis sama tahun penelitiannya boleh? terimakasih kak

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGELOLAAN LABORATORIUM - MENGITUNG KEBUTUHAN UKURAN RUANG LABORATORIUM

Kurikulum Sebagai Sistem