Mengapa Makanan Siap Santap Menyebabkan Keracunan?
Mengapa Makanan Siap Santap Menyebabkan Keracunan?
Makanan siap santap adalah
makanan yang umumnya telah diproses melalui proses pemanasan. Di Indonesia,
sebagian besar makanan siap santap diproses dengan panas tinggi dalam waktu
yang cukup lama karena pada umumnya masyarakat Indonesia terbiasa menyantap
makanan yang benar-benar matang ( well do ne). Kekecualian tentu ada,
misalnya pada lalap sayur atau buah mentah. Namun sebagian besar makanan olahan
adalah makanan yang telah mengalami proses yang cukup untuk membunuh bakteri
patogen bukan pembentuk spora. Oleh karena itu, kemungkinan terbesar keracunan
disebabkan oleh bakteri-bakteri tahan panas yang membentuk spora selama
pemasakan. Spora ini dapat bergerminasi ketika makanan mengalami pendinginan
dan peritiwa ini didukung oleh pendinginan yang lambat sehingga memerlukan
waktu lama untuk mencapai suhu yang aman (4 o C atau lebih rendah). Hal ini
menjawab pertanyaan mengapa kebanyakan keracunan makanan siap santap tidak
terjadi di rumah-rumah tangga dengan ukuran (jumlah) masakan kecil. Jumlah
makanan yang kecil lebih memungkinkan penurunan suhu lebih cepat. Kebiasaan
masyarakat Indonesia menyimpan makanan di suhu ruang dan tidak tersedianya
sarana pendinginan cepat menyebabkan tumbuh kembalinya bakteri pembentuk spora
tersebut.
Keracunan oleh Bakteri Pembentuk Spora
Laporan mengenai kasus keracunan
di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kasus keracunan pangan oleh patogen paling
sering (30%) disebabkan oleh tidak tepatnya proses pendiginan setelah pemasakan.
Bakteri-bakteri yang bertahan dan membentuk spora selama pemanasan yang lazim
ditemukan pada makanan siap santap misalnya Clostridium perfringens dan
Bacillus cereus . C. perfringens yang bergerminasi pada saat
pendinginan lambat dan tertelan bersama-sama makanan dapat menginfeksi usus dan
menimbulkan gejala khas keracunan seperti diare, mual dan muntah 16-24 jam
setelah konsumsi. C. perfrin gens telah dilaporkan menyebabkan
keracunan melalui makanan-makanan olahan daging dan gravy . B.
cereus yang memperoleh kesempatan bergerminasi pada makanan siap santap
dapat tumbuh dan membentuk toksin dalam makanan tersebut. Sedikitnya 2 macam
toksin B. cereus yang telah diketahui dapat menyebabkan keracunan
yaitu toksin emetik yang menyebabkan muntah 2-6 jam setelah konsumsi dan toksin
diare yang menyebabkan diare 12-24 jam setelah konsumsi . B. cereus telah
dilaporkan menyebabkan keracunan melalui nasi goreng, puding pati beras dan
sebagainya.
Keracunan Makanan oleh Bakteri Patogen Bukan Pembentuk Spora
Kebiasaan makan masyarakan
Indonesia yang cenderung mengkonsumsi makanan yang benar-benar matang dan bukan
makanan yang dimasak ringan ( medium , rare ) sebenarnya
dapat menghindarkan kita dari keracunan yang disebabkan oleh patogen yang tidak
membentuk spora. Hal ini disebabkan karena patogen-patogen jenis ini, relatif
tidak tahan panas dan dapat dimusnahkan selama proses pemasakan.
Meskipun demikian pada
kenyataannya keracunan makanan siap santap kadang-kadang terjadi karena bakteri
patogen bukan pembentuk spora ini. Hal ini seringkali terjadi karena
kontaminasi silang ( cross contamination ) maupun kontaminasi ulang ( recontamination
) yang terjadi setelah pemasakan pemasakan.
Kotaminasi silang dapat terjadi
jika sarana, wadah atau alat pengolahan dan atau penyimpanan digunakan
bersama-sama baik untuk bahan mentah maupun bahan yang telah matang.
Kontaminasi ulang terutama terjadi karena kurangnya sanitasi dan higiene.
Kontaminasi ulang dapat disebabkan karena penggunaan air, sarana, wadah, atau
alat penyimpanan yang tercemar serta oleh pekerja yang tidak menjaga kebersihan
dirinya.
Bahkan di negara maju,
kontaminasi ulang dari pekerja adalah faktor yang cukup sering (13%)
berkontribusi pada peristiwa keracunan. Patogen asal pekerja dapat berupa Staphylococcus
aureus yang berasal dari rongga mulut, hidung atau tangan pekerja. Jika
ada jeda waktu yang cukup antara pemasakan dan konsumsi, S. aureus yang
mencemari makanan matang akan tumbuh dan membentuk berbagai enterotoksin.
Enterotoksin S. aureus bersifat tahan panas sehingga tidak dapat
dihilangkan dengan pemanasan kembali yang benar sekalipun. Keracunan
enterotoksin S. aureus dapat dikenali dengan tanda utama muntah 1-6
jam setelah konsumsi makanan tersebut. Bakteri ini telah dilaporkan menyebabkan
keracunan melalui roti lapis daging, pastry berisi krim dan
sebagainya.
Cemaran lainnya yang mungkin
berasal dari pekerja dapat berasal dari usus yang mencemari secara langsung
(melalui tangan) maupun tidak langsung (melalui air) . yang termasuk patogen
enterik ini antara lain Salmonella, Escherichia.coli, Vibr io parahaemolyticus,
Campylobacter jejuni dan Listeria monocytogenes. Apabila kondisi
(kandungan air, pH, aw dan suhu) makanan memungkinkan, maka bakteri ini dapat
tumbuh dan berkembang biak dan mungkin mencapai jumlah yang cukup tinggi yang
menyebabkan infeksi usus jika dikonsumsi. Keracunan oleh kelompok bakteri ini
ditandai dengan lebih lamanya (12-48 jam) jangka waktu antara konsumsi dan
munculnya gejala-gejala penyakit yang umumnya terdiri dari diare, mual, muntah
(kadang-kadang) dan demam (kadang-kadang). Bakteri-baktei ini telah diketahui
sebagai penyebab berbagai wabah keracunan besar, misalnya E.coli O157:H7
pada hamburger, L. monocytogenes pada keju lunak dan salad kubis, C.
jejuni pada makanan sala ternak dan sebagainya.
Investigasi Keracunan Makanan
Jenis-jenis keracunan yang
dilaporkan di Indonesia pada umumnya adalah keracunan makanan dengan skenario
konvensional. Ciri-ciri keracunan dengan skenario ini adalah terjadi pada acara
sosial yang dihadiri banyak orang, banyak korban, keracunan bersifat akut namun
meliputi daerah yang terbatas (lokal), jumlah patogen tinggi, sering disebabkan
oleh kesalahan dalam penangan makanan. Apabila sisa makanan masih tersedia maka
investigasi keracunan jenis ini relatif lebih mudah dilakukan karena korban
umumnya dapat dilacak kembali dan diambil sampel klinisnya untuk pengujian
lebih lanjut. Demikian juga studi epidemiologi secara case-control maupun
secara cohort mungkin dilakukan karena identitas korban maupun
orang-orang yang hadir dalam acara sosial tersebut mudah diketahui. Sumberdaya
manusia yang cukup dan laboratorium uji yang baik akan sangat menentukan
keberhasilan investigasi.
Investigasi akan lebih sukar
dijalankan pada keracunan atau wabah yang mengikuti skenario baru. Keracunan
dengan skenario baru umumnya ditandai dengan ciri ciri sebagai berikut :
tersebar luas, disebabkan oleh kontaminasi dalam jumlah rendah, disebabkan oleh
makanan yang dijual dalam jangkauan yang lebih luas, dan peningkatan jumlah
kasus tidak nyata. Investigasi keracunan ini umumnya hanya dapat disimpulkan
dari suatu data surveilan penyakit atau laboratorium.
Bagaimanan Mencegahnya?
Investigasi yang baik dapat
mengidentifikasi patogen dan makanan penyebab keracunan serta tahap pengolahan
yang bertanggung jawab terhadap terjadinya penyimpangan pada produk makanan.
Dengan demikian dari kasus-kasus keracunan dapat dipelajari, misalnya, kelompok
mikroba yang mana yang paling sering menyebabkan keracunan. Apabila mikroba
pembentuk spora yang dominan, maka permasalahan utama terletak pada proses
pendinginan setelah pemasakan. Sebaliknya apabila bakteri patogen enterik bukan
pembentuk spora yang sering menjadi penyebab, berarti permasalahannya adalah
kontaminasi setelah pemasakan terjadi. Meskipun pemasakan tidak sempurna ( underprocessing
) mungkin menjadi penyebab keracunan oleh patogen bukan pembentuk spora,
tetapi untuk kebanyakan jenis makanan di Indonesia penyebab ini peluangnya
kecil.
Keracunan oleh bakteri pembentuk
spora terutama dapat diatasi dengan pendinginan cepat, dimana makanan yang usai
dimasak sesegera mungkin dibawa ke suhu di bawah 4 o C jika tidak langsung
dikonsumsi. Untuk jumlah makanan yang besar maka sebaiknya diusahakan dapat
mencapai suhu 31.5 o C dalam waktu 2 jam dan mencapai 4 o C dalam 4 jam
berikutnya. Ketika jumlah makanan yang dimasak sangat besar maka penurunan suhu
yang cepat sukar dicapai. Untuk itu pendinginan dapat dibantu derngan
meletakkan makanan dalam wadah diatas sink atau ember berisi es, menambahkan
garam pada es yang digunakan untuk mendinginkan makanan, menggunakan pengaduk
bersih yang dibekukan, mengaduk makanan setiap 15 menit, menggunakan panci yang
dangkal dan tidak menyimpan makanan di dalam panci dengan ketebalan lebih dari
5 cm (untuk makanan yang encer, misalnya soto) atau lebih dari 2.5 cm (untuk
makanan yang kental, seperti kari), atau meletakkan makanan dalam kantong
plastik dan direndam dalam air es. Jika dana memungkinkan maka disarankan untuk
membeli blast chiller .
Keracunan oleh bakteri pembentuk
spora dapat juga diatasi dengan memasak dalam waktu yang dekat dengan waktu
penyajian. Pendeknya rentang waktu akan membatasi terjadinya germinasi spora.
Disamping itu sel yang bergerminasi dapat dikurangi dengan cara memanaskan kembali
makanan sebelum dikonsumsi. Untuk itu maka pemanasan kembali harus dilakukan
sehingga suhu makanan siap santap mencapai 60 o C atau lebih, karena suhu
pemanasan kembali yang tidak cukup dapat merangsang germinasi spora.
Pencegahan keracunan oleh bakteri
bukan pembentuk spora dilakukan dengan tujuan untuk mencegah kontaminasi silang
maupun kontaminasi ulang. Pemisahan ruang serta peralatan untuk bahan mentah
dan matang dapat menghindarkan kontaminasi silang. Pemanasan kembali dengan
suhu yang cukup hanya dapat menghilangkan bakteri enterik tetapi tidak dapat
menginaktifkan enterotoksin yang telah terlanjur terbentuk oleh S. aureus .
Kontaminasi ulang dapat dicegah melalui program sanitasi dan higiene yang baik
pada ruangan, peralatan maupun pekerja dan pengawasan kebiasan-kebiasaan
pekerja.
Komentar
Posting Komentar